Senin, Desember 07, 2009

Memakai Celana di Bawah Lutut

Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.

Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ

Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.

Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.

Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.

Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.

Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.

KH Arwanie Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
sumber: www.nu.or.id

Baca Selengkapnya

Hari Raya di Hari Jum’at

Sebetulnya tidak ada pembahasan khusus terkait hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, yang jatuh pada hari Jum’at. Hari raya adalah satu hal, dan hari Jum’at adalah hal lain. Akan tetapi ketika kita membicarakan seorang yang rumahnya sangat jauh dari masjid, apakah ia harus kembali lagi untuk menunaikan shalat Jum’at setelah di pagi harinya ia telah menunaikan shalat hari raya?

Seperti di zaman awal Islam, ada sahabat yang jarak rumahnya dengan Madinah sejauh 4 km, bahkan lebih dari itu, dan harus ditempuh melewati padang pasir dan ditempuh dengan jalan kaki. Apakah ia harus kembali lagi ke Madinah tanpa kendaraan untuk menunaikan shalat Jum’at? Kalaulah ia harus kembali menempuh perjalanan dari rumah ke masjid dan sebaliknya, sungguh melelahkan. Pertanyaan berikutnya apakah Islam tidak memberikan solusi?

Di sinilah kemudian timbul perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan, tidak perlu kembali ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at. Shalat Jum’atnya dapat dikerjakan di rumah dan menggantinya dengan shalat Dzuhur. Ini termasuk rukhshah atau keringanan dalam beragama.

Pendapat kedua mengatakan, kasus di Madinah di awal Islam itu bisa dijadikan alasan, tetapi apakah kita di Indonesia benar-benar mengalami nasib seperti itu? Bagi kaum Muslimin di Indonesia yang mayoritas NU, hampir di setiap dusun ada masjid, rata-rata kurang dari 1 km dan tidak melewati padang pasir.

Pendapat kedua inilah yang dipilih sebagian besar orang NU. Karena itu seorang Muslim harus kembali ke masjid untuk mengerjakan shalat Jum’at setelah paginya menunaikan shalat hari raya atau shalat Id.

Meskipun demikian, tidak sedikit yang mengikuti jejak golongan pertama. Dengan mengajukan kasus di Madinah, tidak perlu mengajukan alasan apapun seperti perbedaan geografis dan cuaca suatu negara. Yang jelas rukhshah itu patut disambut.

Imam Syafii seperti dikutip dalam Al-Mizan lis Sya’rani Juz I, mengatakan, jika kebetulan hari raya bertepatan dengan hari Jum’at maka bagi penduduk perkotaan kewajiban menjalankan shalat Jum’at tidak gugur dikarenakan telah menjalankan shalat Id. Lain halnya dengan penduduk desa (yang amat jauh), kewajibannya mengerjakan shalat Jum’at gugur, mereka diperbolehkan untuk tidak Jum’atan.

Dalam kitab yang sama disebutkan, pendapat Imam Syafii ini sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Sedang Imam Ahmad mengatakan, tidak wajib Jumatan bagi penduduk desa maupun kota dan gugurlah kewajiban Jum’atan sebab mereka telah mengerjakan shalat Id, hanya saja mereka tetap wajib mengerjakan shalat dzuhur. Malah menurut Imam Atha’ Jum’atan dan shalat dzhuhurnya gugur sekaligus, dan pada hari itu tidak ada shalat setelah shalat Id kecuali shalat ashar.

Hadits tentang rukhsah ini diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam berikut ini:

قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Rasulullah menjalankan shalat Id kemudian memberikan rukhshah untuk tidak menjalankan shalat Jum’at, kemudian beliau bersabda," Siapa ingin shalat Jum’at, Silakan!" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darami serta Ibnu Khazimah dan Al-Hakim).


KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
(Persoalan ini diulas oleh penulis dalam buku "Tradisi Orang-orang NU")
sumber: www.nu.or.id

Baca Selengkapnya

Minggu, Mei 24, 2009

Nasrudin Belajar Musik

Pada suatu hari Nasrudin mendengar ada seorang muda yang bisa bermain musik dengan amat bagus. Ia pun tertarik untuk belajar musik. Keesokan harinya, ia pergi ke kota dan menemui guru musik kenamaan. ”Tuan, saya ingin belajar musik, berapa bayarannya?” Guru itu sejenak melihat wajahnya, sebelum akhirnya menjawab,”Murid-muridku membayar tiga dirham untuk bulan pertama, dan kemudian untuk tiap bulan berikutnya membayar satu dirham. Nasrudin berpikir sejenak dan kemudian berkata, ”Baiklah,” katanya, ”Saya akan mulai kursus pada bulan kedua saja.”

Baca Selengkapnya

Jumat, Mei 15, 2009

Takut kepada Allah

Sekarang ini begitu mudahnya orang merusak hidupnya sendiri. Ingin mendapatkan kemewahan dunia sampai berani mengambil dan merampas sesuatu yang bukan haknya. Ketika melihat wanita cantik, lupa bahwa di rumah sebenarnya ada wanita yang insya Allah lebih cantik dan sah baginya dalam pandangan agama. Ada lagi, karena ingin mendapatkan jabatan, main suap dan segala perbuatan yang sebenarnya tidak pantas untuk diperbuat. Semua ini karena iman yang rapuh, sehingga menjadikannya lupa akan segala-galanya. Ada baiknya jika kita menyimak kisah sahabat berikut, bagaimana orang yang sedang memiliki iman yang rapuh kemudian menyesali dan bertaubat atasnya.

Tsa’labah bin Abdurrahman adalah pelayan Rasulullah SAW. Suatu ketika, ia melihat perempuan Anshar tengah mandi. Ia pun tergoda sehingga asyik memandanginya. Di saat asyik-asyiknya memandang, rasa takut menyelimutinya karena iman yang dimiliki mampu mengalahkan godaan setan. Ia sangat takut, wahyu datang kepada Rasulullah SAW menceritakan apa yang ia perbuat. Ia pun lari meninggalkan Madinah karena malu kepada Rasulullah SAW. Sampailah ia di suatu gunung yang terletak di antara Madinah dan Mekkah.

Rasulullah SAW mencarinya sampai berhari-hari. Akhirnya datanglah Malaikat Jibril memberi tahu Muhammad bahwa Tsa’labah ada di gunung untuk memohon perlindungan kepada Allah dari neraka-Nya. Maka Rasulullah SAW mengutus Umar bin Khathab dan Salman Al-Farisi untuk mengajak Tsa’labah kembali. Ketika berada di luar Kota Madinah, keduanya bertemu dengan seorang penggembala bernama Dzufafah dan menanyakan Tsa’labah. ”Barangkali yang engkau maksud adalah orang yang lari dari neraka Jahanam?” tanya Dzufafah. ”Bagaimana engkau tahu bahwa ia lari dari neraka Jahanam?” timpal Umar. Dzufafah menjelaskan,” Jika datang tengah malam, ia keluar dari sisi kami menuju bukit sembari meletakkan tangan di atas kepalanya, menangis dan berkata,” Duhai Allah, seandainya Engkau mencabut ruhku di antara semua ruh, dan jasadku di antara berbagai jasad, maka janganlah Engkau menelanjangiku di hari pengadilan.” ”Itu dia yang kami cari,” jawab Umar.

Maka Dzufafah pergi bersama Umar dan Salman Al-Farisi untuk mencari Tsa’labah. Akhirnya Salman dan Umar membawa pulang Tsa’labah. Sesampai di Madinah, Umar membawanya ke mesjid saat Rasulullah salat. Mendengar bacaan Rasulullah SAW, Tsa’labah jatuh pingsan. Seusai salat, Rasulullah pun menghampiri dan menyadarkannya kemudian bertanya,” Apa yang menghalangimu sehingga kamu lari meninggalkan aku?”. ”Dosaku wahai Rasulullah,” jawabnya. ”Maukah aku ajarkan kepadamu sesuatu yang dapat menghapus dosa dan kesalahan?” tanya Rasulullah. Setelah Tsa’labah mengangguk, Rasulullah bersabda,”Ucapkan Allaahumma aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar.” ”Dosaku lebih besar daripada itu,” kata Tsa’labah. Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, ”Bahkan kalamulah yang lebih besar,” kemudian menyuruhnya pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Tsa’labah sakit selama tiga hari, lalu meninggal dunia saat Rasulullah menjenguknya. Rasul pun segera memandikan, mengafani dan menyalatkan serta memikulnya ke liang kubur. Rasulullah membawa mayat itu dengan berjalan berjingkat. Para sahabat bertanya kenapa Rasulullah berjalan berjingkat-jingkat? Rasulullah SAW menjawab,” Aku sulit meletakkan kedua kakiku di tanah karena saking banyaknya malaikat datang takziah.”

Kisah di atas semoga mampu membimbing kita, betapa hanya satu kecerobohan saja dalam berbuat menjadikan pelakunya menyesali sampai sedemikian rupa. Apatah kita yang penuh dengan salah dan dosa tetap saja kita berbuat dosa tanpa ada usaha untuk melakukan taubatan nashuha. Menyesali perbuatan dosanya, menghentikan dan istigfar mohon ampun kepada Allah, serta senantiasa mengikutinya dengan amal kebajikan. Apabila kesalahan dan dosa menyangkut dengan hak manusia lain, segera untuk diselesaikan. - Oleh : Drs H Teguh MPd, Wakil Ketua PD Muhammadiyah Solo (Sumber : Solopos, 15 Mei 2009)

Baca Selengkapnya

Selasa, April 28, 2009

Bebas Tanpa Syarat

Seorang hakim yang dikenal korup dan suka dugem kedapatan sedang tergeletak di bawah sebatang pohon rindang dalam keadaan mabuk berat. Nasrudin kebetulan lewat dan melihatnya. Setelah merasa aman karena tak ada yang melihat, Nasrudin mengambil pakaian sang hakim dan langsung mengenakannya lalu berjalan dengan gagah ke pusat kota.

Ketika sadar dari mabuknya, si hakim memerintahkan bawahannya untuk mencari orang yang telah mencuri pakaian kebesarannya. Tentu saja mudah sekali mendapatkan si “pencuri” itu, karena Nasrudin sudah cukup dikenal.

Akhirnya Nasrudin dihadapkan pada si hakim dengan disaksikan orang banyak.

“Bagaimana anda bisa mendapatkan pakaianku itu?”, tanya hakim.

“Kemarin, sepulang mengajar, aku temui seseorang dalam keadaan mabuk berat mengenakan pakaian anda ini. Aku takut anda terkena fitnah, makanya aku ambil pakaiannya ini dan aku kenakan… Apakah anda perlu tahu siapa orang sialan yang mabuk sambil mengenakan pakaian anda itu? ”.

“Tidak perlu. Ambil saja pakaian itu untukmu!”

Jawab hakim sambil meninggalkan ruangan.

Baca Selengkapnya

Hakim Urusan Khusus

Alkisah, Nasrudin ditunjuk sebagai hakim urusan khusus yang mengurusi urusan-urusan yang tak ditangani oleh hakim konvensional yang lain.

Pada suatu hari dia didatangi oleh seorang Ibu dengan anaknya yang berusia 8 tahun. Sang Ibu mengadukan kepada Nasrudin jika si anak tersebut sangat suka sekali makan gula, sehingga dalam sehari bisa menghabiskan 5 ons gula. Segala cara sudah dilakukan oleh si Ibu, mulai menasehati sampai dengan memarahi, ternyata si anak tetap membandel sehingga si Ibu putus harapan, dan satu-satunya harapan yang ada adalah mengajukan kepada Nasrudin untuk diadili.

Setelah mendengar dengan cermat, sang hakim kemudian terdiam sesaat. Kemudian ia berkata kepada sang Ibu dan anak itu untuk kembali ke pengadilan dua minggu kemudian.

Setelah dua minggu kemudian, Ibu dan anak itu datang ke pengadilan untuk mendapatkan putusan dari Nasrudin. Ternyata Nasrudin telah siap menyambut keduanya. Maka acara sidangpun dimulai.

”Hai anak kecil, kau dihukum untuk mengurangi makan gula dari 8 ons menjadi 3 ons, yang pelaksanaannya dilakukan selama dua minggu, ” kata Nasrudin.

Sang Ibu terkejut dengan keputusan itu, lalu ia bertanya pada Nasrudin,” Ya Mulah, mengapa Anda hanya memerintahkan anak ini mengurangi makan gula sebanyak 5 ons saja?”

Maka dengan lembut Nasrudin menjawab,” Hai Ibu tua, sebelum aku memberikan keputusan ini, aku mencobanya terlebih dahulu. Aku juga suka sekali makan gula, bahkan sehari bisa menghabiskan 10 ons. Setelah kucoba untuk mengurangi makan gula selama dua minggu ini, ternyata aku hanya mampu mengurangi sampai 5 ons, sehingga menurutku mustahil aku akan melarang anak itu makan gula, sedang aku sendiri hanya bisa mengurangi makan gula sebanyak 5 ons saja dalam dua minggu.”

Baca Selengkapnya

Nasruddin Hoja: Karakter Lucu, Berani, dan Sarat Hikmah

Nasrudin Hoja merupakan tokoh kocak pada kisah sufistik yang dikenal di seluruh dunia, terutama di negara-negara berpenduduk Muslim. Setiap kisah selalu menampilkannya dalam kondisi yang berbeda-beda melalui ide dan cara pandang humoris dan mengekspos komentar berani namun kocak dan penuh dengan hidup. Yang paling menarik dari cerita-cerita tokoh ini adalah meski lucu namun sarat dengan makna filosofis, sufistik; menggelitik nalar dan hati nurani.

Menurut berbagai sumber, sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol ini merupakan seorang filosof yang bijak dan penuh dengan cita rasa humor. Kisah-kisah Nasrudin telah dikenal hampir di seluruh belahan dunia. Tentu saja, seluruh kisah tentang Hoja dengan rentang waktu lebih dari 7 abad, tidak semua asli darinya. Kebanyakan merupakan produk budaya humor secara kolektif bukan hanya dari Budaya Turki tapi juga dari masyarakat Islam lainnya. Meski begitu dikenal, hoja merupakan tokoh yang masih diperdebatkan keberadaannya antara fiktif dan sejarah. Banyak teori tentang biografinya, namun sayangnya belum cukup memberikan data yang valid.

Sejak Abad ke-16, tokoh ini semakin populer karena ia menawarkan alternatif kepada masyarakat yang mulai bosan terhadap segala hal sifatnya formal dan kaku. Kisah tentang Nasrudin Hoja pada awalnya ditemukan dalam beberapa manuskrip pada awal abad ke-15. Cerita pertama ditemukan dalam Ebu'l-Khayr-i Rumis Saltuk-name (1480). Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Nasrudin merupakan murid sufi dari Seyyid Mahmud Hayrani di Aksehir, barat laut Turki modern.

Pada abad ke-19, Mufti Sivrihisar, Huseyin Efendi, menulis dalam Mecmua-i Maarif bahwa Nasrudin lahir pada 1208 di desa Hortu (sekarang disebut Nasreddin Hoca Koyu) bagian dari Sivrihisar dan meninggal 1284 di Aksehir, setelah hijrah ke sana. Menurut sumber ini, Hoja belajar di Sivrihisar dan madrasah Konya. Hoja belajar fiqh serta belajar tasawuf langsung pada Mawlana Jala al-Din al-Rumi (1207-1273) di Konya.

Kemudian Hoja mengikuti Seyyid Mahmud Hayrani, sebagi guru sufi keduanya, hijrah ke Aksehir dan menikah di sana. Konon, Sewaktu masih muda, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: “Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu.” Ramalan pun menjadi kenyataan, di Aksehir, Hoja menjadi Imam dan hakim. Karena rasa humor yang tinggi dan ulasan-ulasannya yang cemerlang, ia menjadi sangat tersohor dan terkemuka di kota itu.

Kisah-kisah Nasrudin Hoja dikenal di seluruh Timur Tengah yang tentu kemudian diwarnai dengan budaya di mana cerita itu berkembang. Yang jelas, kebanyakan kisah Nasrudin diceritakan sebagai kisah lucu dan anekdot. Kisah-kisah ini tidak henti-hentinya diceritakan baik di kafe, di tempat orang-orang berkumpul untuk ngobrol, serta di rumah sebagi bahan cerita untuk anak. Meski begitu akrabnya kisah Hoja dengan masyarakat, satu karakter yang tetap melekat pada kisah Hoja ini adalah inti yang terkandung dari kisah lucu tersebut hanya orang-orang pada level inteletual tertentu yang mampu memahaminya. Kisah-kisah lucu namun kaya akan pesan moral, biasanya bahkan penuh dengan pesan-pesan spiritual yang mencerahkan dan tak jarang juga memuat perilaku dan jalan menuju maqam makrifatullah. Karena itulah, tak jarang kisah-kisah Hoja ini menjadi materi pengajian sufi.

Kisah-kisah Hoja juga sarat dengan sindiran dan kritik yang cukup berani terhadap tirani dan kekuasan serta ketimpangan sosial dan egoisme elit. Karena itulah, Nasrudin merupakan simbol keberanian, penentangan, sarkastis, ironis, dan komedi kritis di Timur Tengah.

Di Indonesia, kemasyhuran Nasrudin Hoja hampir tidak kalah dengan Abu Nawas. Di tengah dahaga kaum Muslim Indonesia akan nilai-nilai spiritual, beberapa buku yang memuat kisah-kisah Nasrudin Hoja pun laris manis di pasaran.

Berikut adalah salah satu contoh kisahnya yang lucu dan penuh sindiran terhapa penguasa:

Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,

"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."

Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin.

"Demikianlah," kata Nasrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca."

Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"

Nasrudin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."

"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"

Nasrudin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca; hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, berarti kita setolol keledai, bukan ?"

Itulah satu contoh kisah humor sufistik dari Hoja, dan masih ada ratusan cerita lucu penuh makna yang dikaitkan dengan tokoh kita yang satu ini. (Sumber: www.republika.co.id)

Baca Selengkapnya

Teori Kebutuhan

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja.

Hakim memulai, “Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, …”

Nasrudin menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”

Hakim mencoba bertaktik, “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?”

Nasrudin menjawab seketika, “Tentu, saya memilih kekayaan.”

Hakim membalas sinis, “Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”

Nasrudin balik bertanya, “Kalau pilihan Anda sendiri?”

Hakim menjawab tegas, “Tentu, saya memilih kebijaksanaan.”

Dan Nasrudin menutup, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”

Baca Selengkapnya

Minggu, April 26, 2009

Tampang Itu Perlu

Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.

“Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,” kata Nasrudin.

“Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah,” kata istrinya.

Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, “Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!” berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak “Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah.”

Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin menjawab “Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah.”

Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, “Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin.”

Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.

Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim.

“Bagaimana pembelaanmu?” tanya hakim pada Nasrudin.

“Tetangga saya ini gila, Tuan,” kata Nasrudin.

“Apa buktinya?” tanya hakim.

“Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya.”

Dengan kaget, sang tetangga berteriak, “Tetapi itu semua memang milikku!”

Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.

Baca Selengkapnya

Rabu, April 22, 2009

Obrolan Presiden

Saking udah bosannya keliling dunia, Gus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Perancis terbang bersama Gus Dur buat keliling dunia. Boleh dong, emangnya AS dan Perancis aja yg punya pesawat kepresidenan. Seperti biasa...
setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.

Tidak lama presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: "Wah kita sedang berada di atas New York!"

Presiden Indonesia (Gus Dur): "Lho kok bisa tau sih?"

"Itu.. patung Liberty kepegang!", jawab Clinton dengan bangganya.

Ngga mau kalah presiden Perancis, Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. "Tau nggak... kita sedang berada di atas kota Paris!", katanya dengan sombongnya.

Presiden Indonesia: "Wah... kok bisa tau juga?"

"Itu... menara Eiffel kepegang!", sahut presiden Perancis tersebut.

Karena disombongin sama Clinton dan Chirac, giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat...
"Wah... kita sedang berada di atas Tanah Abang!!!", teriak Gus Dur.

"Lho kok bisa tau sih?" tanya Clinton dan Chirac heran karena tahu Gus Dur itu kan nggak bisa ngeliat.

"Ini... jam tangan saya ilang...", jawab Gus Dur kalem.
(Sumber: www.gusdur.net, Jum'at, 13 November 2008 12:46)

Baca Selengkapnya

Kuli dan Kyai

Rombongan jamaah haji NU dari Tegal tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah Arab Saudi. Langsung saja kuli-kuli dari Yaman berebutan untuk mengangkut barang-barang yang mereka bawa. Akibatnya, dua orang di antara kuli-kuli itu terlibat percekcokan serius dalam bahasa Arab.

Melihat itu, rombongan jamaah haji tersebut spontan merubung mereka, sambil berucap: Amin, Amin, Amin!

Gus Dur yang sedang berada di bandara itu menghampiri mereka: "Lho kenapa Anda berkerumun di sini?"

"Mereka terlihat sangat fasih berdoa, apalagi pakai serban, mereka itu pasti kyai."
(Sumber: okezone.com, Kamis, 2 April 2009 - 15:05 wib)

Baca Selengkapnya