Jumat, Mei 15, 2009

Takut kepada Allah

Sekarang ini begitu mudahnya orang merusak hidupnya sendiri. Ingin mendapatkan kemewahan dunia sampai berani mengambil dan merampas sesuatu yang bukan haknya. Ketika melihat wanita cantik, lupa bahwa di rumah sebenarnya ada wanita yang insya Allah lebih cantik dan sah baginya dalam pandangan agama. Ada lagi, karena ingin mendapatkan jabatan, main suap dan segala perbuatan yang sebenarnya tidak pantas untuk diperbuat. Semua ini karena iman yang rapuh, sehingga menjadikannya lupa akan segala-galanya. Ada baiknya jika kita menyimak kisah sahabat berikut, bagaimana orang yang sedang memiliki iman yang rapuh kemudian menyesali dan bertaubat atasnya.

Tsa’labah bin Abdurrahman adalah pelayan Rasulullah SAW. Suatu ketika, ia melihat perempuan Anshar tengah mandi. Ia pun tergoda sehingga asyik memandanginya. Di saat asyik-asyiknya memandang, rasa takut menyelimutinya karena iman yang dimiliki mampu mengalahkan godaan setan. Ia sangat takut, wahyu datang kepada Rasulullah SAW menceritakan apa yang ia perbuat. Ia pun lari meninggalkan Madinah karena malu kepada Rasulullah SAW. Sampailah ia di suatu gunung yang terletak di antara Madinah dan Mekkah.

Rasulullah SAW mencarinya sampai berhari-hari. Akhirnya datanglah Malaikat Jibril memberi tahu Muhammad bahwa Tsa’labah ada di gunung untuk memohon perlindungan kepada Allah dari neraka-Nya. Maka Rasulullah SAW mengutus Umar bin Khathab dan Salman Al-Farisi untuk mengajak Tsa’labah kembali. Ketika berada di luar Kota Madinah, keduanya bertemu dengan seorang penggembala bernama Dzufafah dan menanyakan Tsa’labah. ”Barangkali yang engkau maksud adalah orang yang lari dari neraka Jahanam?” tanya Dzufafah. ”Bagaimana engkau tahu bahwa ia lari dari neraka Jahanam?” timpal Umar. Dzufafah menjelaskan,” Jika datang tengah malam, ia keluar dari sisi kami menuju bukit sembari meletakkan tangan di atas kepalanya, menangis dan berkata,” Duhai Allah, seandainya Engkau mencabut ruhku di antara semua ruh, dan jasadku di antara berbagai jasad, maka janganlah Engkau menelanjangiku di hari pengadilan.” ”Itu dia yang kami cari,” jawab Umar.

Maka Dzufafah pergi bersama Umar dan Salman Al-Farisi untuk mencari Tsa’labah. Akhirnya Salman dan Umar membawa pulang Tsa’labah. Sesampai di Madinah, Umar membawanya ke mesjid saat Rasulullah salat. Mendengar bacaan Rasulullah SAW, Tsa’labah jatuh pingsan. Seusai salat, Rasulullah pun menghampiri dan menyadarkannya kemudian bertanya,” Apa yang menghalangimu sehingga kamu lari meninggalkan aku?”. ”Dosaku wahai Rasulullah,” jawabnya. ”Maukah aku ajarkan kepadamu sesuatu yang dapat menghapus dosa dan kesalahan?” tanya Rasulullah. Setelah Tsa’labah mengangguk, Rasulullah bersabda,”Ucapkan Allaahumma aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar.” ”Dosaku lebih besar daripada itu,” kata Tsa’labah. Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, ”Bahkan kalamulah yang lebih besar,” kemudian menyuruhnya pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Tsa’labah sakit selama tiga hari, lalu meninggal dunia saat Rasulullah menjenguknya. Rasul pun segera memandikan, mengafani dan menyalatkan serta memikulnya ke liang kubur. Rasulullah membawa mayat itu dengan berjalan berjingkat. Para sahabat bertanya kenapa Rasulullah berjalan berjingkat-jingkat? Rasulullah SAW menjawab,” Aku sulit meletakkan kedua kakiku di tanah karena saking banyaknya malaikat datang takziah.”

Kisah di atas semoga mampu membimbing kita, betapa hanya satu kecerobohan saja dalam berbuat menjadikan pelakunya menyesali sampai sedemikian rupa. Apatah kita yang penuh dengan salah dan dosa tetap saja kita berbuat dosa tanpa ada usaha untuk melakukan taubatan nashuha. Menyesali perbuatan dosanya, menghentikan dan istigfar mohon ampun kepada Allah, serta senantiasa mengikutinya dengan amal kebajikan. Apabila kesalahan dan dosa menyangkut dengan hak manusia lain, segera untuk diselesaikan. - Oleh : Drs H Teguh MPd, Wakil Ketua PD Muhammadiyah Solo (Sumber : Solopos, 15 Mei 2009)

Baca Selengkapnya